Minggu, 24 Mei 2009

Program Layanan PAUD

Program Layanan PAUD Non Formal dalam Mendukung Anak Jalanan Mengentaskan Pendidikan Wajib Belajar 9 Tahun


Abstract:

Keberadaan anak-anak jalanan masih dianggap sebagai limbah kota yang harus disingkirkan. Peningkatan jumlah anak jalanan merupakan fenomena sosial yang perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak. Anak Jalanan memiliki hak yang sama seperti anak-anak lainnya baik perkembangan fisik, mental, sosial dan kepribadian agar mereka memiliki masa depan yang cerah. Namun anak jalanan tidak memperoleh hak-haknya bahkan sering hak-haknya sering terlanggar.
Anak-anak jalanan adalah korban baik sebagai korban di dalam keluarga, komunitas jalanan, dan korban pembangunan. Untuk itu kampanye perlindungan terhadap anak jalanan perlu dilakukan secara terus menerus setidaknya untuk mendorong pihak-pihak di luar anak jalanan agar menghentikan aksi-aksi kekerasan terhadap anak jalanan.
Kata Kunci: Program Layanan PAUD, PAUD Non Formal, Anak Jalanan,


Pendahuluan
Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan sosial yang kompleks. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan jelas dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi masalah bagi banyak pihak, keluarga, masyarakat dan negara.
Anak jalanan memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan yang layak agar mereka dapat tumbuh sesuai dengan masa berkembang sebagaimana anak-anak yang lain. Baik perkembangan fisik maupun mentalnya, seperti mendapatkan hak pendidikan, pelayanan kesehatan, bermain dan sebagainya. Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya belum begitu besar dan solutif, padahal mereka adalah bagian dari kita. Tentunya, dengan status sosial sebagai anak jalanan mereka tidak mempunyai kesempatan untuk menikmati pendidikan secara formal. Mereka harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah.
Di mata masyarakat, keberadaan anak jalanan hingga kini masih dianggap sebagai limbah kota yang harus disingkirkan. Bahkan anak-anak jalanan sendiri tidak sedikit yang menganggap dirinya sebagai sampah masyarakat. Jumlah anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Krisis ekonomi yang terjadi diyakini berpengaruh besar terhadap peningkatan jumlah ini. Komisi Perlindungan Anak (KPAI) memperkirakan, pada tahun 2006 terdapat sekitar 150 ribu anak jalanan di Indonesia, dengan konsentrasi terbesar di Jakarta (KPAI, 2006).
Peningkatan jumlah anak jalanan yang pesat merupakan fenomena sosial yang perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Perhatian ini tidak semata-mata terdorong oleh besarnya jumlah anak jalanan, melainkan karena situasi dan kondisi anak jalanan yang buruk di mana kelompok ini belum mendapatkan hak-haknya bahkan sering terlanggar.

A. Pengertian Anak Jalanan
Pengertian anak jalanan yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah “mereka yang berada pada rentang usia wajib belajar 9 tahun (di bawah 18 Tahun) yang menghabiskan sebagian waktunya atau seluruh waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan uang atau guna mempertahankan hidupnya”. Anak yang seharusnya masih berada dalam lingkungan bermain dan belajar, ketika ia pergi atau bahkan tinggal di jalan, pernahkah kita membayangkan kehidupan seperti apa yang mereka jalani? Karakteristik atau sifat-sifat yang menonjol dari anak jalanan di antaranya adalah: (1) Kelihatan kumuh atau kotor, baik kotor tubuh, maupun kotor pakaian, (2) memandang orang lain yang tidak hidup di jalanan sebagai orang yang dapat dimintai uang, (3) mandiri, artinya anak-anak tidak terlalu menggantungkan hidup, terutama dalam hal tempat tidur atau makan, (4) raut wajah yang selalu memelas, terutama ketika berhubungan dengan orang yang bukan dari jalanan. (5), anak-anak tidak memiliki rasa takut untuk berinteraksi baik berbicara dengan siapapun selama di jalanan, (6) malas untuk melakukan kegiatan anak “rumahan” misalnya jadwal tidur selalu tak beraturan, mandi, membersihkan badan, gosok gigi, menyisir rambut, mencuci pakaian atau menyimpan pakaian. Ketika pertama kali hadir di jalan, seorang anak menjadi anonim. Ia tidak mengenal dan dikenal oleh siapapun. Selain itu juga ada perasan kuatir bila orang lain mengetahui siapa dirinya. Tidaklah mengherankan bila strategi yang kemudian digunakan adalah dengan menganti nama. Hampir semua anak yang saya kenal mengganti nama. Hal ini dilakukan untuk menjaga jarak dengan masa lalunya sekaligus masuk dalam masa kekiniannya. Anak-anak mulai memasuki dunia jalanan dengan nama barunya. Anak-anak yang berasal dari daerah pedesaan menggganti dengan nama-nama yang dianggap sebagai nama "modern" yang diambil dari bintang sinotren atau yang yang biasa didengarnya misalnya dengan anam Andi, Roy dan semacamnya. Seorang anak yang bernama Mohammad kemudian mengganti namanya menjadi Roni. Alasan yang diberikan karena Mohammad adalah nama nabi. Nama itu tidak cocok dengan kehidupan di jalan. karena yang dilakukan di jalan banyak tindakan haram. Corak moda kehidupan anak jalanan terutama adalah (re)aksi yang sesungguhnya tidak memiliki kekuatan besar, namun dari posisi di pinggiran itu tetap berupaya mengekspresikan dan menciptakan makna bagi dirinya. Dengan menyimpang dari kultur dominannya anak-anak jalanan dengan sekuat tenaganya mempertahankan kontrol atas dirinya sendiri dengan ekspresi "kebebasan" dan simbol kreatifitas sekaligus menjadi ajang dari pertandingan: pemberdayaan atau penaklukan. Pendek kata, bila bagi banyak pihak menjalani kehidupan di jalan diietakkan sebagai "masalah", maka bagi anak-anak muda itu memilih kehidupan jalanan sebagai satu "solusi". Paradoks semacam ini memang akan tetap memposisikan anak jalanan di pinggiran, tetapi ia sekaligus juga sumber kekuatan terciptanya satu sub-kultur anak muda perkotaan. http://www.yogyafree.net; http://milis.yogyafree.net/ http://groups.yahoo.com/group/yogyafree Berbagai penelitian, laporan program, hasil monitoring dan pemberitaan media massa telah banyak mengungkap situasi buruk yang dialami oleh anak jalanan. Kasus yang pernah terjadi adalah pengusiran anak-anak jalanan dari rumah dan penyerangan sekelompok orang terhadap anak jalanan di Manggala Kekerasan lainnya adalah kekerasan dan eksploitasi seksual. Hampir seluruh anak jalanan perempuan pernah mengalami pelecehan seksual terlebih bagi anak yang tinggal di jalanan. Ketika tidur, kerapkali mereka menjadi korban dari kawan-kawannya atau komunitas jalanan, misalnya digerayangi tubuh dan alat vitalnya (Shalahuddin, 2004). Kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh anak jalanan hingga terungkap ke publik diyakini hanyalah sebagian kecil saja dari kasus-kasus kekerasan yang sering terjadi di dalam kehidupan anak-anak jalanan. Oleh karena itu, tidaklah terlalu berlebihan bila dikatakan bahwa anak jalanan senantiasa berada dalam situasi yang mengancam perkembangan fisik, mental dan sosial bahkan nyawa mereka. Dalam situasi kekerasan yang dihadapi secara terus-menerus dalam perjalanan hidupnya, maka pelajaran itulah yang melekat dalam diri anak jalanan yang akan membentuk nilai-nilai baru dan membawa tindakan yang mengedepankan kekerasan sebagai jalan keluar untuk mempertahankan hidupnya. Ketika memasuki masa dewasa, besar kemungkinan mereka akan menjadi salah satu pelaku kekerasan. Tanpa adanya upaya apapun, maka kita telah berperan serta menjadikan anak-anak sebagai korban tak berkesudahan. Menghapus stigmatisasi di atas menjadi sangat penting. Patut disadari bahwa anak-anak jalanan adalah korban baik sebagai korban di dalam keluarga, komunitas jalanan, dan korban pembangunan. Untuk itu kampanye perlindungan terhadap anak jalanan perlu dilakukan secara terus menerus setidaknya untuk mendorong pihak-pihak di luar anak jalanan agar menghentikan aksi-aksi kekerasan terhadap anak jalanan. Melalui kampanye ini didorong pula tumbuhnya empati terhadap anak jalanan agar ada keterlibatan konkrit berbagai pihak melalui berbagai kegiatan untuk perubahan. Mereka harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh-kembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah.
B. Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini
Pada waktu manusia lahir, kelengkapan organisasi otak yang memuat 100-200 milyar sel otak siap dikembangkan serta diaktualisasikan untuk mencapai tingkat perkembangan potensi tertinggi. Periode sensitif perkembangan otak manusia terjadi pada interval umur tiga sampai sepuluh bulan. Para ahli menemukan bahwa perkembangan otak manusia mencapai kapasitas 50% pada masa anak usia dini. Para ahli menyebut usia dini sebagai usia emas atau golden age (Hasan, 2004). Pendidikan Anak Usia Dini atau disingkat PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. PAUD adalah pendidikan yang cukup penting dan bahkan menjadi landasan kuat untuk mewujudkan generasi yang cerdas dan kuat. PAUD merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini. Usia dini merupakan usia yang sangat menentukan dalam pembentukan karakter dan kepribadian seorang anak. Usia dini sebagai usia penting bagi pengembangan intelegensi permanen dirinya, mereka juga mampu menyerap informasi yang sangat tinggi. Banyak penelitian yang dilakukan untuk membuktikan, pada usia itu memiliki kemampuan intelegensi yang sangat tinggi (Siswanto, 2006). Pendidikan usia dini, pra-sekolah dan taman kanak-kanak tidak boleh diabaikan atau dianggap sepele. Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini. Tujuan utamanya adalah untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa. Tujuan penyertanya adalah untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah. Menurut Pasal 28 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bentuk satuan pendidikan anak usia dini dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (1) Jalur pendidikan formal, terdiri atas taman kanak-kanak dan raudhatul atfal, (2) Jalur pendidikan non formal yang terdiri atas penitipan anak, kelompok bermain dan satuan PAUD sejenis. Kelompok bermain dapat diikuti anak usia dua tahun ke atas, sedangkan penitipan anak dan satuan PAUD Sejenis diikuti anak sejak lahir, atau usia tiga bulan, (3) Jalur Pendidikan Informal yang terdiri atas pendidikan yang diselenggarakan di keluarga dan di lingkungan. Ini menunjukkan bahwa pemerintah melindungi hak anak untuk mendapatkan layanan pendidikan meskipun mereka tidak masuk ke lembaga pendidikan anak usia dini, baik formal maupun nonformal.
C. Pemberdayaan Rumah Singgah dalam Meningkatkan Mutu Layanan PAUD Non Formal Bagi Anak Jalanan
Salah satu bentuk penanganan anak jalanan adalah melalui pembentukan rumah singgah. Konferensi Nasional II Masalah Pekerja anak di Indonesia pada bulan Juli 1996 mendefinisikan rumah singgah sebagai tempat pemusatan sementara yang bersifat non formal, dimana anak-anak bertemu untuk memperoleh informasi dan pembinaan awal sebelum dirujuk ke dalam proses pembinaan lebih lanjut (Sander, 2007). Sedangkan menurut Departemen Sosial RI, rumah singgah didefinisikan sebagai perantara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu mereka. Rumah singgah merupakan proses non formal yang memberikan suasana pusat realisasi anak jalanan terhadap sistem nilai dan norma di masyarakat. Secara umum tujuan dibentuknya rumah singgah adalah membantu anak mengatasi masalah-masalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sedang secara khusus tujuan rumah singgah adalah:
a. Membentuk kembali sikap dan perilaku anak yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.
b. Mengupayakan anak-anak kembali ke rumah jika memungkinkan atau ke panti dan lembaga pengganti lainnya jika diperlukan.
c. Memberikan berbagai alternatif pelayanan pendidikan dini untuk pemenuhan kebutuhan anak dan menyiapkan masa depannya sehingga menjadi masyarakat yang produktif.
Peran dan fungsi rumah singgah bagi program pemberdayaan anak jalanan sangat penting. Secara ringkas fungsi rumah singgah antara lain:
a. Sebagai tempat pertemuan (meeting point) pekerja sosial dan anak jalanan. Dalam hal ini sebagai tempat untuk terciptanya persahabatan dan keterbukaan antara anak jalanan dengan pekerja sosial dalam menentukan dan melakukan berbagai aktivitas pembinaan.
b. Pusat diagnosa dan rujukan. Dalam hal ini rumah singgah berfungsi sebagai tempat melakukan diagnosa terhadap kebutuhan dan masalah anak jalanan serta melakukan rujukan pelayanan sosial bagi anak jalanan.
c. Fasilitator atau sebagai perantara anak jalanan dengan keluarga, keluarga pengganti, dan lembaga lainnya.
d. Perlindungan. Rumah singgah dipandang sebagai tempat berlindung dari berbagai bentuk kekerasan yang kerap menimpa anak jalanan dari kekerasan dan prilaku penyimpangan seksual ataupun berbagai bentuk kekerasan lainnya.
e. Pusat Informasi tentang anak jalanan.
f. Kuratif dan rehabilitatif. yaitu fungsi mengembalikan dan menanamkan fungsi sosial anak.
g. Akses terhadap pelayanan. yaitu sebagai persinggahan sementara anak jalanan dan sekaligus akses kepada berbagai pelayanan sosial.
h. Resosialisasi. Lokasi rumah singgah yang berada ditengah-tengah masyarakat merupakan salah satu upaya mengenalkan pendidikan dini penanaman norma dan kehidupan bermasyarakat bagi anak jalanan.
Pada sisi lain mengarah pada pengakuan, tanggung jawab dan upaya warga masyarakat terhadap penanganan masalah anak jalanan. Bentuk upaya pemberdayaan anak jalanan selain melalui rumah singgah dapat juga dilakukan melalui program-program:
a. Center based program, yaitu membuat penampungan tempat tinggal yang bersifat tidak permanen.
b. Street based interventions, yaitu mengadakan pendekatan langsung di tempat anak jalanan berada atau langsung ke jalanan.
c. Community based strategi, yaitu dengan memperhatikan sumber gejala munculnya anak jalanan baik keluarga maupun lingkungannya.
Dalam kaitannya dengan model pembinaan anak jalanan dapat dilakukan dengan cara memberikan pendidikan alternatif (pendidikan luar sekolah) sebagai kegiatan untuk mencegah munculnya masalah sosial anak jalanan, seperti pelatihan dan peningkatan keterampilan, dan pada akhir 2009 diharapkan angka partisipasi kasar (APK) PAUD nonfomal minimal telah mencapai 35 persen (Anonim, 2006).
D. Pemberdayaan Keluarga
Anak-anak jalanan pada umumnya berada pada usia sekolah, usia produktif, mereka mempunyai kesempatan yang sama seperti anak-anak yang lain, mereka adalah warga negara yang berhak mendapatkan pelayanan pendidikan, tetapi di sisi lain mereka tidak bisa meninggalkan kebiasaan mencari penghidupan di jalanan. Perlu disadari bahwa pelaksanaan program pelayanan sosial anak jalanan selama ini masih dirasa ”Jauh Panggang dari Api”. Hal ini sebagai akibat dari fokus penanganannya lebih diutamakan pada sasaran anak, kurang diimbangi dengan pendekatan pemberdayaan keluarga. Dalam hal ini pemberdayaan keluarga belum menjadi program utama melainkan hanya sebagai program pelengkap. Dalam hal ini diharapkan agar program penanganan anak jalanan lebih di fokuskan pada basis keluarga dan masyarakat. Program berbasis masyarakat sangat kental dengan aspek pemberdayaan. Dalam pemberdayaan tersirat ”to give and to ability” yakni memberikan sesuatu yang memungkinkan keluarga mampu berbuat lebih banyak. Keluarga diberdayakan secara sosial, ekonomi, agar mampu berperan membentuk kepribadian anak yang pro-sosial. Pada akhirnya mampu memberikan jaminan bagi anak untuk berkembang secara normal. Melalui program pemberdayaan keluarga sebagai basis utama dalam pembinaan anak jalanan ini, keluarga dikembalikan pada ”Khitah” Nya sebagai lembaga penjamin perkembangan anak yang mendekatkan anak pada keluarga. Banyak yang dipelajari anak dalam proses pendidikan yang dimulai di dalam keluarga ini, yang ternyata memiliki efek penting bagi perkembangan kepribadiannya di kemudian hari. Menurut Farida (2006: 2-7) unsur-unsur penting yang perlu diperhatikan antara lain adalah:
1. Menanamkan rasa percaya diri dan rasa cinta pada anak
Rasa percaya dan rasa cinta ini tumbuh pada diri anak berkaitan erat dengan pengalaman perawatan yang diterimanya sejak beliau dilahirkan ke dunia. Perawatan dan perlakuan yang mendatangkan rasa aman pada diri anak, lambat laun membentuk rasa percaya dan cinta pada orang-orang di sekelilingnya. Kelak perasaan ini akan berkembang kepada lingkungan dan orang-orang lain yang lebih luas dari lingkungan awalnya. Beliaupun akan lebih mengharapkan perlakuan yang sama dari orang lain yang berhubungan dengannya, kemudian diapun belajar memberi perlakuan tersebut kepada pihak lain. Lambat laun dia percaya akan dunia itu (Erikson, 1968). Sebaliknya jika perawatan dan perlakuan yang diterima tidaklah mendatangkan rasa aman dan nyaman bagi diri anak (menyakitinya), maka anak itu akan mengembangkan suatu rasa tidak percaya bukan saja terhadap orang-orang yang mengasuhnya, tetapi terhadap semua orang yang berhubungan dengannya. Rasa percaya atau rasa tidak percaya seperti ini sesuai dengan keadaannya, akan bertahan cukup lama walaupun sebenarnya hal itu dapat berubah sebagai akibat dari pengalaman di kemudian hari, namun hal tersebut cukup sulit untuk terjadi. Sebab keberhasilan berbagai upaya untuk mensosialisasikan anak yang dalam proses pertumbuhan itu akan dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan yang diperolehnya dalam masalah rasa percaya tersebut. Rasa percaya diri dan rasa cinta ini kelak di kemudian hari sangat penting bagi diri anak untuk membangun hubungan sosial dan kerjasamanya dengan orang lain. Mereka yang memiliki problem dengan rasa percaya diri ini akan sulit untuk menjalin hubungan baik dengan orang lain, sebab perasaan minder, perasaan tidak mampu dan perasaan tidak disukai akan lebih dominan memenuhi perasaannya. Citra diri positif sulit dibangun anak sehingga menjadi hambatan dalam dia berhubungan sosial dikemudian hari. Dampak dari perawatan dan perlakuan yang diterima anak sejak dini di keluarga ternyata berpengaruhi bagi perkembangan personalitinya dikemudian hari. Anaklah yang akan merasakan secara langsung negatif atau positif dari proses tersebut.
2. Belajar Bahasa
Bahasa sangat diperlukan dalam seseorang berkomunikasi dengan orang lain. Bahasa yang baik dan jelas akan memudahkan orang lain mengerti apa yang dimaksudkan. Bahasa juga berkaitan dengan tutur sapa dan cara penyampaian kata-kata yang diucapkan, selain itu bahasa yang dipakai juga mencerminkan pribadi orang yang memakainya. Kata pepatah “bahasa menunjukkan bangsa”, ini berarti pula dari kata-kata yang diucapkan seseorang dapat diketahui latar belakangnya termasuk lingkungan dimana dia berasal. Anak belajar bahasa pada awalnya lewat bunyi dan ucapan-ucapan yang didengarnya dari sekelilingnya. Keluarga adalah tempat lingkungan awal anak, maka keluarga merupakan tempat awal anak belajar bahasa (Burhan N., 2005).
Bahasa pertama-tama diajarkan di dalam keluarga. Keluarga-keluarga secara individual akan tergolong dalam kelas-kelas sosial tertentu dan sering dalam kelompok-kelompok sosial yang dapat dikenal pada perbedaan logat bicara yang dipakai. Perbedaan yang diajarkan pada anak akan merupakan tanda dalam golongan tempat ia disosialisasikan dan setidak-tidaknya dapat merupakan suatu sarana dari suatu proses sosialisasi tertentu. Dengan kata lain, perbedaan logat berbicara seseorang dapat merupakan suatu indikator dari nilai-nilai dan norma-norma yang telah ditanamkan pada seseorang. Mereka yang dapat berbicara dengan bahasa yang standar atau dengan cara yang umumnya dihargai orang di suatu budaya (misalnya budaya Jawa, yang dihargai orang yang dapat berbahasa halus, sopan) akan lebih mudah diterima jika dia berkomunikasi dengan orang lain dibanding mereka yang berbicara kasar dan menyakitkan (nylekit).
Orang tua sebaiknya mengenalkan kedua bahasa tersebut pada anak-anaknya, agar mereka mengetahui sejak dini bahwa dalam pergaulan di luar rumah ada bahasa lain yang dipakai yang berbeda dari bahasa yang biasa digunakan mereka. Hal tersebut dapat melatih anak mampu berkomunikasi yang tepat dengan teman bicara (berkomunikasinya). Memakai bahasa yang tepat dengan lawan bicara akan membuat komunikasi menjadi lebih efektif dan dapat diterima oleh yang diajak bicara. Artinya anak mampu berempati dan menempatkan dirinya pada posisi yang kondusif dengan orang yang diajak bicara. Bila dalam komunikasi terdapat jarak yang lebar antara komunikator dengan komunikate, maka pesan yang disampaikan dan yang diterima kurang efektif dan dapat saja terjadi miskomunikasi ataupun penolakan sebelah pihak.
Kemampuan menempatkan diri dan memahami situasi dalam berkomunikasi adalah model yang sangat penting dalam proses negosiasi dan hubungan antar individu, terutama di dalam masyarakat. Keluwesan dalam berpikir dan bertindak menunjang kemampuan seseorang untuk menjalin komunikasi yang harmonis dengan orang lain. Keluwesan menunjukkan pada kemampuan memandang sesuatu dalam perspektif yang berbeda-beda dan menghasilkan berbagai jenis gagasan bagi pemecahan masalah. Keluwesan mengisyaratkan pengaliran informasi tertentu atau tidak kaku dalam berpikir (Evans, 1991), yang memungkinkan mampu menerima perbedaan-perbedaan yang ada sehingga dapat berempati pada kondisi orang lain.
Pemilihan kata-kata yang baik dan sopan dalam berbahasa perlu dilatihkan dari sejak kecil agar anak terbiasa menggunakannya di kemudian hari. Menggunakan kata-kata yang kurang sopan dan terkesan kasar akan menghambat komunikasi harmonis, sebab hal tersebut dapat melukai dan menyakitkan perasaan orang lain. Dalam belajar bahasa anak tidak saja belajar bagaimana mengatakan, tetapi juga belajar apa yang tidak boleh dikatakan dalam kaitannya dengan fungsi sosial bahasa (Brown, 2000). Dalam proses sosialisasi di dalam keluarga, anak akan menirukan apa yang biasa dilakukan orang tuanya, bila orang tua mereka biasa menggunakan pilihan kata yang baik dan menyenangkan (tidak menyakitkan) maka anak-anakpun akan terbiasa melakukan hal yang sama, hal ini dinamakan proses identifikasi.
3. Belajar Memahami Peran
Sosialisasi mengajarkan tentang peran, yang menyangkut hak dan kewajiban apakah yang harus dilakukan dengan status yang dimilikinya. Sebagai contoh, kalau kita menanyakan tentang identitas kita dengan pertanyaan “siapa saya”, maka selain identitas kita yang terjawab, di dalamnya juga termasuk peran apa yang harus dimainkan.
Ada tiga tahap dalam perkembangan kesanggupan memainkan peran dan selanjutnya berpengaruh dalam perkembangan diri (Malkie, 1980). Pertama, tahap persiapan, dimana seorang anak yang masih muda hanya meniru orang dewasa, biasanya orang tua. Dalam hal ini hanya meniru begitu saja, tidak memperlihatkan secara jelas apakah banyak refleksi atau introspeksi dan tidak jelas apakah merupakan sesuatu yang dilakukan sesuai aturan (Piaget, 1951); Kedua, tahap bermain, permainan peran adalah dengan sengaja, tetapi dimana hal itu terbatas pada suatu kecakapan si anak memainkan peran orangtuanya atau orang yang dikenalnya; Ketiga, tahap permainan dimana anak melihat dirinya sendiri memainkan suatu peran dalam suatu jaringan berbagai peran, yang masing-masing akrab baginya yang sewaktu-waktu dapat ia lakukan atau boleh dimainkannya (Farida dalam Modul Sosio Antro, 2000).
Belajar peran dan memahami perannya sebagai individu dan anggota masyarakat sangat erat hubungannya dengan proses pembentukan kepribadian (konsep diri), sebab konsep diri merupakan produk dari interaksi seseorang dengan orang lain ataupun masyarakat (Mead, 1993). Artinya, seseorang mengembangkan konsep dirinya dari kesadaran hubungan-hubungan, evaluasi-evaluasi, dan harapan-harapan dari orang-orang lain yang berinteraksi dengannya, dan dari pengolahannya sendiri terhadap kesadaran-kesadaran tersebut. Introspeksi seperti itu hanya terjadi dengan diferensiasi seseorang tentang dirinya sendiri dari orang-orang lain di dalam lingkungannya.
Diterima dengan baik atau tidaknya seseorang dalam lingkungan pergaulannya, sangat bergantung pada kemampuannya menyesuaikan diri dan juga memerankan perannya. Sebab tidak semua individu dapat diterima dengan baik dan hangat oleh lingkungannya, dan tak jarang pula terjadi seseorang merasa sulit untuk dapat diterima oleh lingkungannya, karena kegagalannya dalam memainkan peran yang diharapkan. Oleh sebab itu kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri (diterima dengan baik dan hangat oleh lingkungannya) banyak tergantung pada kemampuannya dalam memerankan peran yang diharapkan lingkungan dari dirinya. Kemampuan-kemampuan tersebut sebenarnya dipelajari dari proses sosialisasi, yang pada awalnya diperoleh melalui pendidikan keluarga.

E. Program Untuk Anak Jalanan
Khusus untuk anak jalanan, menurut Ishaq (2000), pendidikan luar sekolah yang sesuai adalah dengan melakukan proses pembelajaran yang dilaksanakan dalam wadah "rumah singgah" dan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), yaitu: anak jalanan dilayani di rumah singgah, sedangkan anak rentan ke jalan dan orang dewasa dilayani dalam wadah PKBM.
Rumah singgah dan PKBM itu dipadukan dengan-sekaligus menerapkan-pendekatan kelompok dan CBE (Community Based Education, pendidikan berbasis masyarakat) serta strategi pembelajaran partisipatif dan kolaboratif (participative and collaborative learning strategy).
Program pendidikan yang terselenggara itu, antara lain, dapat berupa: Kejar Usaha; Kejar Paket A (setara SD); Kejar Paket B (setara SLTP); bimbingan belajar; Diktagama (pendidikan watak dan dialog keagamaan); Latorma (pelatihan olahraga dan bermain); Sinata (sinauwisata); Lasentif (pelatihan seni dan kreativitas); Kelompok Bermain; Kampanye KHA (Konvensi Hak Anak-anak); FBR (forum berbagi rasa); dan pelatihan Taruna Mandiri (M. Ishaq, 2000: 371).
Materi pembelajarannya mencakup: agama dan kewarganegaraan; calistung (membaca-menulis-berhitung); hidup bermasyarakat; serta kreativitas dan wirausaha.
Prestasi belajar dan keberhasilan program dievaluasi dengan tahapan self-evaluation berikut: (1) penetapan tujuan belajar; (2) perumusan kriteria keberhasilan belajar; (3) pemantauan kegiatan belajar; serta (4) penetapan prestasi belajar dan keberhasilan program.
Hasil evaluasi itu diungkapkan pada akhir masing-masing kegiatan melalui laporan lisan atau tertulis. Hasil evaluasi kegiatan belajar insidental dilaporkan secara lisan atau ditempel pada papan pengumuman yang terdapat di rumah singgah atau PKBM, sedangkan hasil evaluasi kegiatan belajar berkesinambungan dilaporkan melalui buku raport. Adapun keberhasilan program diungkapkan secara berkala: harian, mingguan, bulanan, dan tahunan.

Penutup
Anak-anak jalanan adalah korban baik sebagai korban di dalam keluarga, komunitas jalanan, dan korban pembangunan. Salah satu bentuk penanganan anak jalanan adalah melalui pembentukan rumah singgah. Bentuk upaya pemberdayaan anak jalanan selain melalui rumah singgah dapat juga dilakukan melalui program-program: Center based program, yaitu membuat penampungan tempat tinggal yang bersifat tidak permanen. Street based interventions, yaitu mengadakan pendekatan langsung di tempat anak jalanan berada atau langsung ke jalanan. Community based strategi, yaitu dengan memperhatikan sumber gejala munculnya anak jalanan baik keluarga maupun lingkungannya. Pelaksanaan program pelayanan sosial anak jalanan harus lebih diutamakan pada sasaran anak, diimbangi dengan pendekatan pemberdayaan keluarga. Unsur-unsur penting yang perlu diperhatikan dalam proses pendidikan dalam keluarga antara lain adalah: menanamkan rasa percaya diri dan rasa cinta pada anak, belajar bahasa, belajar memahami peran. Materi pembelajarannya mencakup: agama dan kewarganegaraan; calistung (membaca-menulis-berhitung); hidup bermasyarakat; serta kreativitas dan wirausaha.



DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2006. PAUD Jadi Prioritas Depdiknas. Harian Rakyat Merdeka.
Farida, Hanum. 2006. Memenuhi Hak-Hak Anak untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Masyarakat: Makalah
Hasan, H. 2004. Strategi Pengembangan dan Pemasaran Pusat PAUD. Depdiknas.
Ishaq, M. (1998). "Pengembangan Modul Literasi Jalanan untuk Peningkatan Kemampuan Hidup Bermasyarakat Anak-anak Jalanan". Makalah. Lokakarya Modul Literasi Jalanan di BPKB Jayagiri-Lembang, 24-25 Maret 1998. Bandung : Yayasan Bahtera-Unicef.
Ishaq, M. (2000). Pengembangan Model Program Taruna Mandiri. Disertasi. Tidak Diterbitkan. Bandung : PPS-UPI Bandung.
Kirik Ertanto Anak Jalanan dan Subkultur: Sebuah Pemikiran Awal http://www.yogyafree.net;http://milis.yogyafree.net/http://groups.yahoo.com/ group/ yogyafree Diakses Tgl. 11 Februari 2008
KPAI. 2006. Perlindungan Anak Belum Prioritas. Suara Karya
Riyanto, T. 2004. Pendekatan Pembinaan Watak Usia Dini.
Sander, D.Z. 2006. Pemberdayaan Keluarga Sebagai Basis Utama
Shalahuddin. 2004. Kekerasan Terhadap Anak Jalanan. Relawan
Siswanto, Henny. Pentingnya Pendidikan Usia Dini.Waspada Online. 28 Agustus 2006.
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Depdiknas

Program Layanan PAUD Non Formal dalam Mendukung Anak Jalanan Mengentaskan Pendidikan Wajib Belajar 9 Tahun

Program Layanan PAUD Non Formal dalam Mendukung Anak Jalanan Mengentaskan Pendidikan Wajib Belajar 9 Tahun


Abstract:

Keberadaan anak-anak jalanan masih dianggap sebagai limbah kota yang harus disingkirkan. Peningkatan jumlah anak jalanan merupakan fenomena sosial yang perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak. Anak Jalanan memiliki hak yang sama seperti anak-anak lainnya baik perkembangan fisik, mental, sosial dan kepribadian agar mereka memiliki masa depan yang cerah. Namun anak jalanan tidak memperoleh hak-haknya bahkan sering hak-haknya sering terlanggar.
Anak-anak jalanan adalah korban baik sebagai korban di dalam keluarga, komunitas jalanan, dan korban pembangunan. Untuk itu kampanye perlindungan terhadap anak jalanan perlu dilakukan secara terus menerus setidaknya untuk mendorong pihak-pihak di luar anak jalanan agar menghentikan aksi-aksi kekerasan terhadap anak jalanan.
Kata Kunci: Program Layanan PAUD, PAUD Non Formal, Anak Jalanan,


Pendahuluan
Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan sosial yang kompleks. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan jelas dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi masalah bagi banyak pihak, keluarga, masyarakat dan negara.
Anak jalanan memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan yang layak agar mereka dapat tumbuh sesuai dengan masa berkembang sebagaimana anak-anak yang lain. Baik perkembangan fisik maupun mentalnya, seperti mendapatkan hak pendidikan, pelayanan kesehatan, bermain dan sebagainya. Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya belum begitu besar dan solutif, padahal mereka adalah bagian dari kita. Tentunya, dengan status sosial sebagai anak jalanan mereka tidak mempunyai kesempatan untuk menikmati pendidikan secara formal. Mereka harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah.
Di mata masyarakat, keberadaan anak jalanan hingga kini masih dianggap sebagai limbah kota yang harus disingkirkan. Bahkan anak-anak jalanan sendiri tidak sedikit yang menganggap dirinya sebagai sampah masyarakat. Jumlah anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Krisis ekonomi yang terjadi diyakini berpengaruh besar terhadap peningkatan jumlah ini. Komisi Perlindungan Anak (KPAI) memperkirakan, pada tahun 2006 terdapat sekitar 150 ribu anak jalanan di Indonesia, dengan konsentrasi terbesar di Jakarta (KPAI, 2006).
Peningkatan jumlah anak jalanan yang pesat merupakan fenomena sosial yang perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Perhatian ini tidak semata-mata terdorong oleh besarnya jumlah anak jalanan, melainkan karena situasi dan kondisi anak jalanan yang buruk di mana kelompok ini belum mendapatkan hak-haknya bahkan sering terlanggar.

A. Pengertian Anak Jalanan
Pengertian anak jalanan yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah “mereka yang berada pada rentang usia wajib belajar 9 tahun (di bawah 18 Tahun) yang menghabiskan sebagian waktunya atau seluruh waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan uang atau guna mempertahankan hidupnya”. Anak yang seharusnya masih berada dalam lingkungan bermain dan belajar, ketika ia pergi atau bahkan tinggal di jalan, pernahkah kita membayangkan kehidupan seperti apa yang mereka jalani? Karakteristik atau sifat-sifat yang menonjol dari anak jalanan di antaranya adalah: (1) Kelihatan kumuh atau kotor, baik kotor tubuh, maupun kotor pakaian, (2) memandang orang lain yang tidak hidup di jalanan sebagai orang yang dapat dimintai uang, (3) mandiri, artinya anak-anak tidak terlalu menggantungkan hidup, terutama dalam hal tempat tidur atau makan, (4) raut wajah yang selalu memelas, terutama ketika berhubungan dengan orang yang bukan dari jalanan. (5), anak-anak tidak memiliki rasa takut untuk berinteraksi baik berbicara dengan siapapun selama di jalanan, (6) malas untuk melakukan kegiatan anak “rumahan” misalnya jadwal tidur selalu tak beraturan, mandi, membersihkan badan, gosok gigi, menyisir rambut, mencuci pakaian atau menyimpan pakaian. Ketika pertama kali hadir di jalan, seorang anak menjadi anonim. Ia tidak mengenal dan dikenal oleh siapapun. Selain itu juga ada perasan kuatir bila orang lain mengetahui siapa dirinya. Tidaklah mengherankan bila strategi yang kemudian digunakan adalah dengan menganti nama. Hampir semua anak yang saya kenal mengganti nama. Hal ini dilakukan untuk menjaga jarak dengan masa lalunya sekaligus masuk dalam masa kekiniannya. Anak-anak mulai memasuki dunia jalanan dengan nama barunya. Anak-anak yang berasal dari daerah pedesaan menggganti dengan nama-nama yang dianggap sebagai nama "modern" yang diambil dari bintang sinotren atau yang yang biasa didengarnya misalnya dengan anam Andi, Roy dan semacamnya. Seorang anak yang bernama Mohammad kemudian mengganti namanya menjadi Roni. Alasan yang diberikan karena Mohammad adalah nama nabi. Nama itu tidak cocok dengan kehidupan di jalan. karena yang dilakukan di jalan banyak tindakan haram. Corak moda kehidupan anak jalanan terutama adalah (re)aksi yang sesungguhnya tidak memiliki kekuatan besar, namun dari posisi di pinggiran itu tetap berupaya mengekspresikan dan menciptakan makna bagi dirinya. Dengan menyimpang dari kultur dominannya anak-anak jalanan dengan sekuat tenaganya mempertahankan kontrol atas dirinya sendiri dengan ekspresi "kebebasan" dan simbol kreatifitas sekaligus menjadi ajang dari pertandingan: pemberdayaan atau penaklukan. Pendek kata, bila bagi banyak pihak menjalani kehidupan di jalan diietakkan sebagai "masalah", maka bagi anak-anak muda itu memilih kehidupan jalanan sebagai satu "solusi". Paradoks semacam ini memang akan tetap memposisikan anak jalanan di pinggiran, tetapi ia sekaligus juga sumber kekuatan terciptanya satu sub-kultur anak muda perkotaan. http://www.yogyafree.net; http://milis.yogyafree.net/ http://groups.yahoo.com/group/yogyafree Berbagai penelitian, laporan program, hasil monitoring dan pemberitaan media massa telah banyak mengungkap situasi buruk yang dialami oleh anak jalanan. Kasus yang pernah terjadi adalah pengusiran anak-anak jalanan dari rumah dan penyerangan sekelompok orang terhadap anak jalanan di Manggala Kekerasan lainnya adalah kekerasan dan eksploitasi seksual. Hampir seluruh anak jalanan perempuan pernah mengalami pelecehan seksual terlebih bagi anak yang tinggal di jalanan. Ketika tidur, kerapkali mereka menjadi korban dari kawan-kawannya atau komunitas jalanan, misalnya digerayangi tubuh dan alat vitalnya (Shalahuddin, 2004). Kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh anak jalanan hingga terungkap ke publik diyakini hanyalah sebagian kecil saja dari kasus-kasus kekerasan yang sering terjadi di dalam kehidupan anak-anak jalanan. Oleh karena itu, tidaklah terlalu berlebihan bila dikatakan bahwa anak jalanan senantiasa berada dalam situasi yang mengancam perkembangan fisik, mental dan sosial bahkan nyawa mereka. Dalam situasi kekerasan yang dihadapi secara terus-menerus dalam perjalanan hidupnya, maka pelajaran itulah yang melekat dalam diri anak jalanan yang akan membentuk nilai-nilai baru dan membawa tindakan yang mengedepankan kekerasan sebagai jalan keluar untuk mempertahankan hidupnya. Ketika memasuki masa dewasa, besar kemungkinan mereka akan menjadi salah satu pelaku kekerasan. Tanpa adanya upaya apapun, maka kita telah berperan serta menjadikan anak-anak sebagai korban tak berkesudahan. Menghapus stigmatisasi di atas menjadi sangat penting. Patut disadari bahwa anak-anak jalanan adalah korban baik sebagai korban di dalam keluarga, komunitas jalanan, dan korban pembangunan. Untuk itu kampanye perlindungan terhadap anak jalanan perlu dilakukan secara terus menerus setidaknya untuk mendorong pihak-pihak di luar anak jalanan agar menghentikan aksi-aksi kekerasan terhadap anak jalanan. Melalui kampanye ini didorong pula tumbuhnya empati terhadap anak jalanan agar ada keterlibatan konkrit berbagai pihak melalui berbagai kegiatan untuk perubahan. Mereka harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh-kembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah.
B. Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini
Pada waktu manusia lahir, kelengkapan organisasi otak yang memuat 100-200 milyar sel otak siap dikembangkan serta diaktualisasikan untuk mencapai tingkat perkembangan potensi tertinggi. Periode sensitif perkembangan otak manusia terjadi pada interval umur tiga sampai sepuluh bulan. Para ahli menemukan bahwa perkembangan otak manusia mencapai kapasitas 50% pada masa anak usia dini. Para ahli menyebut usia dini sebagai usia emas atau golden age (Hasan, 2004). Pendidikan Anak Usia Dini atau disingkat PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. PAUD adalah pendidikan yang cukup penting dan bahkan menjadi landasan kuat untuk mewujudkan generasi yang cerdas dan kuat. PAUD merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini. Usia dini merupakan usia yang sangat menentukan dalam pembentukan karakter dan kepribadian seorang anak. Usia dini sebagai usia penting bagi pengembangan intelegensi permanen dirinya, mereka juga mampu menyerap informasi yang sangat tinggi. Banyak penelitian yang dilakukan untuk membuktikan, pada usia itu memiliki kemampuan intelegensi yang sangat tinggi (Siswanto, 2006). Pendidikan usia dini, pra-sekolah dan taman kanak-kanak tidak boleh diabaikan atau dianggap sepele. Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini. Tujuan utamanya adalah untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa. Tujuan penyertanya adalah untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah. Menurut Pasal 28 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bentuk satuan pendidikan anak usia dini dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (1) Jalur pendidikan formal, terdiri atas taman kanak-kanak dan raudhatul atfal, (2) Jalur pendidikan non formal yang terdiri atas penitipan anak, kelompok bermain dan satuan PAUD sejenis. Kelompok bermain dapat diikuti anak usia dua tahun ke atas, sedangkan penitipan anak dan satuan PAUD Sejenis diikuti anak sejak lahir, atau usia tiga bulan, (3) Jalur Pendidikan Informal yang terdiri atas pendidikan yang diselenggarakan di keluarga dan di lingkungan. Ini menunjukkan bahwa pemerintah melindungi hak anak untuk mendapatkan layanan pendidikan meskipun mereka tidak masuk ke lembaga pendidikan anak usia dini, baik formal maupun nonformal.
C. Pemberdayaan Rumah Singgah dalam Meningkatkan Mutu Layanan PAUD Non Formal Bagi Anak Jalanan
Salah satu bentuk penanganan anak jalanan adalah melalui pembentukan rumah singgah. Konferensi Nasional II Masalah Pekerja anak di Indonesia pada bulan Juli 1996 mendefinisikan rumah singgah sebagai tempat pemusatan sementara yang bersifat non formal, dimana anak-anak bertemu untuk memperoleh informasi dan pembinaan awal sebelum dirujuk ke dalam proses pembinaan lebih lanjut (Sander, 2007). Sedangkan menurut Departemen Sosial RI, rumah singgah didefinisikan sebagai perantara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu mereka. Rumah singgah merupakan proses non formal yang memberikan suasana pusat realisasi anak jalanan terhadap sistem nilai dan norma di masyarakat. Secara umum tujuan dibentuknya rumah singgah adalah membantu anak mengatasi masalah-masalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sedang secara khusus tujuan rumah singgah adalah:
a. Membentuk kembali sikap dan perilaku anak yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.
b. Mengupayakan anak-anak kembali ke rumah jika memungkinkan atau ke panti dan lembaga pengganti lainnya jika diperlukan.
c. Memberikan berbagai alternatif pelayanan pendidikan dini untuk pemenuhan kebutuhan anak dan menyiapkan masa depannya sehingga menjadi masyarakat yang produktif.
Peran dan fungsi rumah singgah bagi program pemberdayaan anak jalanan sangat penting. Secara ringkas fungsi rumah singgah antara lain:
a. Sebagai tempat pertemuan (meeting point) pekerja sosial dan anak jalanan. Dalam hal ini sebagai tempat untuk terciptanya persahabatan dan keterbukaan antara anak jalanan dengan pekerja sosial dalam menentukan dan melakukan berbagai aktivitas pembinaan.
b. Pusat diagnosa dan rujukan. Dalam hal ini rumah singgah berfungsi sebagai tempat melakukan diagnosa terhadap kebutuhan dan masalah anak jalanan serta melakukan rujukan pelayanan sosial bagi anak jalanan.
c. Fasilitator atau sebagai perantara anak jalanan dengan keluarga, keluarga pengganti, dan lembaga lainnya.
d. Perlindungan. Rumah singgah dipandang sebagai tempat berlindung dari berbagai bentuk kekerasan yang kerap menimpa anak jalanan dari kekerasan dan prilaku penyimpangan seksual ataupun berbagai bentuk kekerasan lainnya.
e. Pusat Informasi tentang anak jalanan.
f. Kuratif dan rehabilitatif. yaitu fungsi mengembalikan dan menanamkan fungsi sosial anak.
g. Akses terhadap pelayanan. yaitu sebagai persinggahan sementara anak jalanan dan sekaligus akses kepada berbagai pelayanan sosial.
h. Resosialisasi. Lokasi rumah singgah yang berada ditengah-tengah masyarakat merupakan salah satu upaya mengenalkan pendidikan dini penanaman norma dan kehidupan bermasyarakat bagi anak jalanan.
Pada sisi lain mengarah pada pengakuan, tanggung jawab dan upaya warga masyarakat terhadap penanganan masalah anak jalanan. Bentuk upaya pemberdayaan anak jalanan selain melalui rumah singgah dapat juga dilakukan melalui program-program:
a. Center based program, yaitu membuat penampungan tempat tinggal yang bersifat tidak permanen.
b. Street based interventions, yaitu mengadakan pendekatan langsung di tempat anak jalanan berada atau langsung ke jalanan.
c. Community based strategi, yaitu dengan memperhatikan sumber gejala munculnya anak jalanan baik keluarga maupun lingkungannya.
Dalam kaitannya dengan model pembinaan anak jalanan dapat dilakukan dengan cara memberikan pendidikan alternatif (pendidikan luar sekolah) sebagai kegiatan untuk mencegah munculnya masalah sosial anak jalanan, seperti pelatihan dan peningkatan keterampilan, dan pada akhir 2009 diharapkan angka partisipasi kasar (APK) PAUD nonfomal minimal telah mencapai 35 persen (Anonim, 2006).
D. Pemberdayaan Keluarga
Anak-anak jalanan pada umumnya berada pada usia sekolah, usia produktif, mereka mempunyai kesempatan yang sama seperti anak-anak yang lain, mereka adalah warga negara yang berhak mendapatkan pelayanan pendidikan, tetapi di sisi lain mereka tidak bisa meninggalkan kebiasaan mencari penghidupan di jalanan. Perlu disadari bahwa pelaksanaan program pelayanan sosial anak jalanan selama ini masih dirasa ”Jauh Panggang dari Api”. Hal ini sebagai akibat dari fokus penanganannya lebih diutamakan pada sasaran anak, kurang diimbangi dengan pendekatan pemberdayaan keluarga. Dalam hal ini pemberdayaan keluarga belum menjadi program utama melainkan hanya sebagai program pelengkap. Dalam hal ini diharapkan agar program penanganan anak jalanan lebih di fokuskan pada basis keluarga dan masyarakat. Program berbasis masyarakat sangat kental dengan aspek pemberdayaan. Dalam pemberdayaan tersirat ”to give and to ability” yakni memberikan sesuatu yang memungkinkan keluarga mampu berbuat lebih banyak. Keluarga diberdayakan secara sosial, ekonomi, agar mampu berperan membentuk kepribadian anak yang pro-sosial. Pada akhirnya mampu memberikan jaminan bagi anak untuk berkembang secara normal. Melalui program pemberdayaan keluarga sebagai basis utama dalam pembinaan anak jalanan ini, keluarga dikembalikan pada ”Khitah” Nya sebagai lembaga penjamin perkembangan anak yang mendekatkan anak pada keluarga. Banyak yang dipelajari anak dalam proses pendidikan yang dimulai di dalam keluarga ini, yang ternyata memiliki efek penting bagi perkembangan kepribadiannya di kemudian hari. Menurut Farida (2006: 2-7) unsur-unsur penting yang perlu diperhatikan antara lain adalah:
1. Menanamkan rasa percaya diri dan rasa cinta pada anak
Rasa percaya dan rasa cinta ini tumbuh pada diri anak berkaitan erat dengan pengalaman perawatan yang diterimanya sejak beliau dilahirkan ke dunia. Perawatan dan perlakuan yang mendatangkan rasa aman pada diri anak, lambat laun membentuk rasa percaya dan cinta pada orang-orang di sekelilingnya. Kelak perasaan ini akan berkembang kepada lingkungan dan orang-orang lain yang lebih luas dari lingkungan awalnya. Beliaupun akan lebih mengharapkan perlakuan yang sama dari orang lain yang berhubungan dengannya, kemudian diapun belajar memberi perlakuan tersebut kepada pihak lain. Lambat laun dia percaya akan dunia itu (Erikson, 1968). Sebaliknya jika perawatan dan perlakuan yang diterima tidaklah mendatangkan rasa aman dan nyaman bagi diri anak (menyakitinya), maka anak itu akan mengembangkan suatu rasa tidak percaya bukan saja terhadap orang-orang yang mengasuhnya, tetapi terhadap semua orang yang berhubungan dengannya. Rasa percaya atau rasa tidak percaya seperti ini sesuai dengan keadaannya, akan bertahan cukup lama walaupun sebenarnya hal itu dapat berubah sebagai akibat dari pengalaman di kemudian hari, namun hal tersebut cukup sulit untuk terjadi. Sebab keberhasilan berbagai upaya untuk mensosialisasikan anak yang dalam proses pertumbuhan itu akan dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan yang diperolehnya dalam masalah rasa percaya tersebut. Rasa percaya diri dan rasa cinta ini kelak di kemudian hari sangat penting bagi diri anak untuk membangun hubungan sosial dan kerjasamanya dengan orang lain. Mereka yang memiliki problem dengan rasa percaya diri ini akan sulit untuk menjalin hubungan baik dengan orang lain, sebab perasaan minder, perasaan tidak mampu dan perasaan tidak disukai akan lebih dominan memenuhi perasaannya. Citra diri positif sulit dibangun anak sehingga menjadi hambatan dalam dia berhubungan sosial dikemudian hari. Dampak dari perawatan dan perlakuan yang diterima anak sejak dini di keluarga ternyata berpengaruhi bagi perkembangan personalitinya dikemudian hari. Anaklah yang akan merasakan secara langsung negatif atau positif dari proses tersebut.
2. Belajar Bahasa
Bahasa sangat diperlukan dalam seseorang berkomunikasi dengan orang lain. Bahasa yang baik dan jelas akan memudahkan orang lain mengerti apa yang dimaksudkan. Bahasa juga berkaitan dengan tutur sapa dan cara penyampaian kata-kata yang diucapkan, selain itu bahasa yang dipakai juga mencerminkan pribadi orang yang memakainya. Kata pepatah “bahasa menunjukkan bangsa”, ini berarti pula dari kata-kata yang diucapkan seseorang dapat diketahui latar belakangnya termasuk lingkungan dimana dia berasal. Anak belajar bahasa pada awalnya lewat bunyi dan ucapan-ucapan yang didengarnya dari sekelilingnya. Keluarga adalah tempat lingkungan awal anak, maka keluarga merupakan tempat awal anak belajar bahasa (Burhan N., 2005).
Bahasa pertama-tama diajarkan di dalam keluarga. Keluarga-keluarga secara individual akan tergolong dalam kelas-kelas sosial tertentu dan sering dalam kelompok-kelompok sosial yang dapat dikenal pada perbedaan logat bicara yang dipakai. Perbedaan yang diajarkan pada anak akan merupakan tanda dalam golongan tempat ia disosialisasikan dan setidak-tidaknya dapat merupakan suatu sarana dari suatu proses sosialisasi tertentu. Dengan kata lain, perbedaan logat berbicara seseorang dapat merupakan suatu indikator dari nilai-nilai dan norma-norma yang telah ditanamkan pada seseorang. Mereka yang dapat berbicara dengan bahasa yang standar atau dengan cara yang umumnya dihargai orang di suatu budaya (misalnya budaya Jawa, yang dihargai orang yang dapat berbahasa halus, sopan) akan lebih mudah diterima jika dia berkomunikasi dengan orang lain dibanding mereka yang berbicara kasar dan menyakitkan (nylekit).
Orang tua sebaiknya mengenalkan kedua bahasa tersebut pada anak-anaknya, agar mereka mengetahui sejak dini bahwa dalam pergaulan di luar rumah ada bahasa lain yang dipakai yang berbeda dari bahasa yang biasa digunakan mereka. Hal tersebut dapat melatih anak mampu berkomunikasi yang tepat dengan teman bicara (berkomunikasinya). Memakai bahasa yang tepat dengan lawan bicara akan membuat komunikasi menjadi lebih efektif dan dapat diterima oleh yang diajak bicara. Artinya anak mampu berempati dan menempatkan dirinya pada posisi yang kondusif dengan orang yang diajak bicara. Bila dalam komunikasi terdapat jarak yang lebar antara komunikator dengan komunikate, maka pesan yang disampaikan dan yang diterima kurang efektif dan dapat saja terjadi miskomunikasi ataupun penolakan sebelah pihak.
Kemampuan menempatkan diri dan memahami situasi dalam berkomunikasi adalah model yang sangat penting dalam proses negosiasi dan hubungan antar individu, terutama di dalam masyarakat. Keluwesan dalam berpikir dan bertindak menunjang kemampuan seseorang untuk menjalin komunikasi yang harmonis dengan orang lain. Keluwesan menunjukkan pada kemampuan memandang sesuatu dalam perspektif yang berbeda-beda dan menghasilkan berbagai jenis gagasan bagi pemecahan masalah. Keluwesan mengisyaratkan pengaliran informasi tertentu atau tidak kaku dalam berpikir (Evans, 1991), yang memungkinkan mampu menerima perbedaan-perbedaan yang ada sehingga dapat berempati pada kondisi orang lain.
Pemilihan kata-kata yang baik dan sopan dalam berbahasa perlu dilatihkan dari sejak kecil agar anak terbiasa menggunakannya di kemudian hari. Menggunakan kata-kata yang kurang sopan dan terkesan kasar akan menghambat komunikasi harmonis, sebab hal tersebut dapat melukai dan menyakitkan perasaan orang lain. Dalam belajar bahasa anak tidak saja belajar bagaimana mengatakan, tetapi juga belajar apa yang tidak boleh dikatakan dalam kaitannya dengan fungsi sosial bahasa (Brown, 2000). Dalam proses sosialisasi di dalam keluarga, anak akan menirukan apa yang biasa dilakukan orang tuanya, bila orang tua mereka biasa menggunakan pilihan kata yang baik dan menyenangkan (tidak menyakitkan) maka anak-anakpun akan terbiasa melakukan hal yang sama, hal ini dinamakan proses identifikasi.
3. Belajar Memahami Peran
Sosialisasi mengajarkan tentang peran, yang menyangkut hak dan kewajiban apakah yang harus dilakukan dengan status yang dimilikinya. Sebagai contoh, kalau kita menanyakan tentang identitas kita dengan pertanyaan “siapa saya”, maka selain identitas kita yang terjawab, di dalamnya juga termasuk peran apa yang harus dimainkan.
Ada tiga tahap dalam perkembangan kesanggupan memainkan peran dan selanjutnya berpengaruh dalam perkembangan diri (Malkie, 1980). Pertama, tahap persiapan, dimana seorang anak yang masih muda hanya meniru orang dewasa, biasanya orang tua. Dalam hal ini hanya meniru begitu saja, tidak memperlihatkan secara jelas apakah banyak refleksi atau introspeksi dan tidak jelas apakah merupakan sesuatu yang dilakukan sesuai aturan (Piaget, 1951); Kedua, tahap bermain, permainan peran adalah dengan sengaja, tetapi dimana hal itu terbatas pada suatu kecakapan si anak memainkan peran orangtuanya atau orang yang dikenalnya; Ketiga, tahap permainan dimana anak melihat dirinya sendiri memainkan suatu peran dalam suatu jaringan berbagai peran, yang masing-masing akrab baginya yang sewaktu-waktu dapat ia lakukan atau boleh dimainkannya (Farida dalam Modul Sosio Antro, 2000).
Belajar peran dan memahami perannya sebagai individu dan anggota masyarakat sangat erat hubungannya dengan proses pembentukan kepribadian (konsep diri), sebab konsep diri merupakan produk dari interaksi seseorang dengan orang lain ataupun masyarakat (Mead, 1993). Artinya, seseorang mengembangkan konsep dirinya dari kesadaran hubungan-hubungan, evaluasi-evaluasi, dan harapan-harapan dari orang-orang lain yang berinteraksi dengannya, dan dari pengolahannya sendiri terhadap kesadaran-kesadaran tersebut. Introspeksi seperti itu hanya terjadi dengan diferensiasi seseorang tentang dirinya sendiri dari orang-orang lain di dalam lingkungannya.
Diterima dengan baik atau tidaknya seseorang dalam lingkungan pergaulannya, sangat bergantung pada kemampuannya menyesuaikan diri dan juga memerankan perannya. Sebab tidak semua individu dapat diterima dengan baik dan hangat oleh lingkungannya, dan tak jarang pula terjadi seseorang merasa sulit untuk dapat diterima oleh lingkungannya, karena kegagalannya dalam memainkan peran yang diharapkan. Oleh sebab itu kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri (diterima dengan baik dan hangat oleh lingkungannya) banyak tergantung pada kemampuannya dalam memerankan peran yang diharapkan lingkungan dari dirinya. Kemampuan-kemampuan tersebut sebenarnya dipelajari dari proses sosialisasi, yang pada awalnya diperoleh melalui pendidikan keluarga.

E. Program Untuk Anak Jalanan
Khusus untuk anak jalanan, menurut Ishaq (2000), pendidikan luar sekolah yang sesuai adalah dengan melakukan proses pembelajaran yang dilaksanakan dalam wadah "rumah singgah" dan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), yaitu: anak jalanan dilayani di rumah singgah, sedangkan anak rentan ke jalan dan orang dewasa dilayani dalam wadah PKBM.
Rumah singgah dan PKBM itu dipadukan dengan-sekaligus menerapkan-pendekatan kelompok dan CBE (Community Based Education, pendidikan berbasis masyarakat) serta strategi pembelajaran partisipatif dan kolaboratif (participative and collaborative learning strategy).
Program pendidikan yang terselenggara itu, antara lain, dapat berupa: Kejar Usaha; Kejar Paket A (setara SD); Kejar Paket B (setara SLTP); bimbingan belajar; Diktagama (pendidikan watak dan dialog keagamaan); Latorma (pelatihan olahraga dan bermain); Sinata (sinauwisata); Lasentif (pelatihan seni dan kreativitas); Kelompok Bermain; Kampanye KHA (Konvensi Hak Anak-anak); FBR (forum berbagi rasa); dan pelatihan Taruna Mandiri (M. Ishaq, 2000: 371).
Materi pembelajarannya mencakup: agama dan kewarganegaraan; calistung (membaca-menulis-berhitung); hidup bermasyarakat; serta kreativitas dan wirausaha.
Prestasi belajar dan keberhasilan program dievaluasi dengan tahapan self-evaluation berikut: (1) penetapan tujuan belajar; (2) perumusan kriteria keberhasilan belajar; (3) pemantauan kegiatan belajar; serta (4) penetapan prestasi belajar dan keberhasilan program.
Hasil evaluasi itu diungkapkan pada akhir masing-masing kegiatan melalui laporan lisan atau tertulis. Hasil evaluasi kegiatan belajar insidental dilaporkan secara lisan atau ditempel pada papan pengumuman yang terdapat di rumah singgah atau PKBM, sedangkan hasil evaluasi kegiatan belajar berkesinambungan dilaporkan melalui buku raport. Adapun keberhasilan program diungkapkan secara berkala: harian, mingguan, bulanan, dan tahunan.

Penutup
Anak-anak jalanan adalah korban baik sebagai korban di dalam keluarga, komunitas jalanan, dan korban pembangunan. Salah satu bentuk penanganan anak jalanan adalah melalui pembentukan rumah singgah. Bentuk upaya pemberdayaan anak jalanan selain melalui rumah singgah dapat juga dilakukan melalui program-program: Center based program, yaitu membuat penampungan tempat tinggal yang bersifat tidak permanen. Street based interventions, yaitu mengadakan pendekatan langsung di tempat anak jalanan berada atau langsung ke jalanan. Community based strategi, yaitu dengan memperhatikan sumber gejala munculnya anak jalanan baik keluarga maupun lingkungannya. Pelaksanaan program pelayanan sosial anak jalanan harus lebih diutamakan pada sasaran anak, diimbangi dengan pendekatan pemberdayaan keluarga. Unsur-unsur penting yang perlu diperhatikan dalam proses pendidikan dalam keluarga antara lain adalah: menanamkan rasa percaya diri dan rasa cinta pada anak, belajar bahasa, belajar memahami peran. Materi pembelajarannya mencakup: agama dan kewarganegaraan; calistung (membaca-menulis-berhitung); hidup bermasyarakat; serta kreativitas dan wirausaha.



DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2006. PAUD Jadi Prioritas Depdiknas. Harian Rakyat Merdeka.
Farida, Hanum. 2006. Memenuhi Hak-Hak Anak untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Masyarakat: Makalah
Hasan, H. 2004. Strategi Pengembangan dan Pemasaran Pusat PAUD. Depdiknas.
Ishaq, M. (1998). "Pengembangan Modul Literasi Jalanan untuk Peningkatan Kemampuan Hidup Bermasyarakat Anak-anak Jalanan". Makalah. Lokakarya Modul Literasi Jalanan di BPKB Jayagiri-Lembang, 24-25 Maret 1998. Bandung : Yayasan Bahtera-Unicef.
Ishaq, M. (2000). Pengembangan Model Program Taruna Mandiri. Disertasi. Tidak Diterbitkan. Bandung : PPS-UPI Bandung.
Kirik Ertanto Anak Jalanan dan Subkultur: Sebuah Pemikiran Awal http://www.yogyafree.net;http://milis.yogyafree.net/http://groups.yahoo.com/ group/ yogyafree Diakses Tgl. 11 Februari 2008
KPAI. 2006. Perlindungan Anak Belum Prioritas. Suara Karya
Riyanto, T. 2004. Pendekatan Pembinaan Watak Usia Dini.
Sander, D.Z. 2006. Pemberdayaan Keluarga Sebagai Basis Utama
Shalahuddin. 2004. Kekerasan Terhadap Anak Jalanan. Relawan
Siswanto, Henny. Pentingnya Pendidikan Usia Dini.Waspada Online. 28 Agustus 2006.
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Depdiknas

Teori Belajar Andragogi

TEORI BELAJAR ANDRAGOGI DALAM PEMBELAJARAN


A. Pendahuluan
Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang vital dalam usahanya untuk mempertahankan hidup dan mengembangkan dirinya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dirasakannya belajar sebagai suatu kebutuhan yang vital karena semakin pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menimbulkan berbagai perubahan yang melanda segenap aspek kehidupan dan penghidupan manusia. Tanpa belajar, manusia akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan tuntutan hidup, kehidupan dan penghidupan yang senantiasa berubah. Dengan demikian belajar merupakan suatu kebutuhan yang dirasakan sebagai suatu keharusan untuk dipenuhi sepanjang usia manusia, sejak lahir hingga akhir hayatnya. (Syamsu Mappa, 1994: 1)
Banyak teori mengenai proses pembelajaran didasarkan pada rumusan pendidikan sebagai suatu proses transmisi budaya. Dari teori itu lahirlah istilah pedagogi yang diartikan sebagai suatu ilmu dan seni mengajar anak-anak. Perkembangan selanjutnya, istilah pedagogi tersebut berubah artinya menjadi ilmu dan seni mengajar.
Di lain pihak perubahan yang terjadi seperti inovasi dalam teknologi, mobilitas penduduk, perubahan sistem ekonomi, politik dan sejenisnya begitu cepat terjadi. Dalam kondisi seperti ini, maka pengetahuan yang diperoleh seseorang ketika ia berumur 21 tahun akan menjadi usang ketika ia berumur 41 tahun. Apabila demikian, maka pendidikan sebagai suatu proses transmisi pengetahuan sudah tidak lagi dirumuskan sebagai upaya untuk mentransformasian pengetahuan, tetapi dirumuskan sebagai proses penemuan sepanjang hayat terhadap apa yang dibutuhkan untuk diketahui. (Zainudin Arif, 1984:1)
Dalam dua dekade terakhir, di kalangan ahli pendidikan orang dewasa telah berkembang baik di Eropa maupun di Amerika dan Asia suatu teori mengenai cara mengajar orang dewasa. Untuk membedakan dengan “pedagogi”, maka teori tersebut dikenal dengan nama “andragogi”. Istilah “andragogi” sebagai istilah teori filsafat pendidikan telah digunakan sejak tahun 1833 oleh Alexander Kapp bangsa Jerman yang bekerja sebagai guru sekolah grammar, istilah tersebut hilang dalam peredaran zaman. Tahun 1921 istilah tersebut dimunculkan kembali oleh Eugene Rosentock, seorang pengajar di akademik buruh Frankrut.
Sejak 1970-an istilah “andragogi” semakin banyak digunakan oleh pada pendidik orang dewasa di Eropa, Amerika dan Asia. Menjelang akhir abad ke-19 dan memasuki abad ke-20 beberapa ahli psikologi mengadakan penelitian eksperimen tentang teori belajar walaupun pada waktu itu mereka menggunakan binatang sebagai objek eksperimen. Penggunaan binatang sebagai objek eksperimen berdasarkan pemikiran bahwa apabila binatang yang kecerdasannya dianggap rendah dapat melakukan eksperimen teori belajar, maka sudah dapat dipastikan bahwa kesperimen itupun dapat pula berlaku bahkan lebih berhasil pada manusia, oleh karena manusia lebih cerdas daripada binatang.
Di antara ahli psikologi yang menggunakan binatang sebagai objek eksperimen adalah EL Thorndike (1974 – 1949), terkenal dengan teori belajar “Classical Conditioning” menggunakan anjing sebagai ujicoba. B.F. Skinner (1904), terkenal dengan teori belajar “Operant Conditioning” menggunakan tikus dan burung merpati sebagai ujicoba. Dari teori belajar orang dewasa ini muncul perspektif teori belajar orang dewasa yang biasa disebut dengan “Andragogi Theory of Adult Learning”. Teori andragogi menjelaskan bagaimana belajar orang dewasa dalam pembelajaran. Kedua komponen ini sangat berkaitan erat dengan proses belajar dan pembelajaran. Di antara ahli teori belajar dan pembelajaran orang dewasa ialah Care Rogers (1969), Paulo Freire (1972), Robert M. Gagne (1977), Malcolm Knowles (1980), Jack Mezirow (1981).
Dalam tulisan ini penulis ingin mengupas hal yang dianggap urgen pada teori belajar “andragogi” menyangkut Pengertian Andragogi, Teori Belajar Orang Dewasa dan Tokohnya serta Aplikasinya dalam Kegiatan Belajar dan Pembelajaran.
B. Pembahasan
1. Pengertian Andragogi
Secara etimologis, andragogi berasal dari bahasa Latin “andros” yang berarti orang dewasa dan “agogos“ yang berarti memimpin atau melayani.
Knowles (dalam Sudjana, 2005: 62) mendefinisikan andragogi sebagai seni dan ilmu dalam membantu peserta didik (orang dewasa) untuk belajar (the science and arts of helping adults learn). Berbeda dengan pedagogi karena istilah ini dapat diartikan sebagai seni dan ilmu untuk mengajar anak-anak (pedagogy is the science and arts of teaching children).
Orang dewasa tidak hanya dilihat dari segi biologis semata, tetapi juga dilihat dari segi sosial dan psikologis. Secara biologis, seseorang disebut dewasa apabila ia telah mampu melakukan reproduksi. Secara sosial, seseorang disebut dewasa apabila ia telah melakukan peran-peran sosial yang biasanya dibebankan kepada orang dewasa. Secara psikologis, seseorang dikatakan dewasa apabila telah memiliki tanggung jawab terhadap kehidupan dan keputusan yang diambil.
Darkenwald dan Meriam (Sudjana, 2005: 62) memandang bahwa seseorang dikatakan dewasa apabila ia telah melewati masa pendidikan dasar dan telah memasuki usia kerja, yaitu sejak umur 16 tahun. Dengan demikian orang dewasa diartikan sebagai orang yang telah memiliki kematangan fungsi-fungsi biologis, sosial dan psikologis dalam segi-segi pertimbangan, tanggung jawab, dan peran dalam kehidupan. Namun kedewasaan seseorang akan bergantung pula pada konteks sosio-kulturalnya. Kedewasaan itupun merupakan suatu gejala yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan untuk menjadi dewasa. Istilah “andogogi” berasal dari “andr” dan “agogos” berarti memimpin, mengamong, atau membimbing.
Dugan Laird (Hendayat S. 2005: 135) mengatakan bahwa andragogi mempelajari bagaimana orang dewasa belajar. Laird yakin bahwa orang dewasa belajar dengan cara yang secara signifikan berbeda dengan cara-cara anak dalam memperoleh tingkah laku baru.
Andragogi adalah suatu model proses pembelajaran peserta didik yang terdiri atas orang dewasa. Andragogi disebut juga sebagai teknologi pelibatan orang dewasa dalam pembelajaran. Proses pembelajaran dapat terjadi dengan baik apabila metode dan teknik pembelajaran melibatkan peserta didik. Keterlibatan diri (ego peserta didik) adalah kunci keberhasilan dalam pembelajaran orang dewasa. untuk itu pendidik hendaknya mampu membantu peserta didik untuk: (a) mendefinisikan kebutuhan belajarnya, (b) merumuskan tujuan belajar, (c) ikut serta memikul tanggung jawab dalam perencanaan dan penyusunan pengalaman belajar, dan (d) berpartisipasi dalam mengevaluasi proses dan hasil kegiatan belajar. Dengan demikian setiap pendidik harus melibatkan peserta didik seoptimal mungkin dalam kegiatan pembelajaran.
Prosedur yang perlu ditempuh oleh pendidik sebagaimana dikemukakan Knowles (1986: 117) adalah sebagai berikut: (a) menciptakan suasana yang kondusif untuk belajar melalui kerjasama dalam merencanakan program pembelajaran, (b) menemukan kebutuhan belajar, (c) merumuskan tujuan dan materi yang cocok untuk memenuhi kebutuhan belajar, (d) merancang pola belajar dalam sejumlah pengalaman belajar untuk peserta didik, (e) melaksanakan kegiatan belajar dengan menggunakan metode, teknik dan sarana belajar yang tepat dan (f) menilai kegiatan belajar serta mendiagnosis kembali kebutuhan belajar untuk kegiatan pembelejaran selanjutnya. Inti teori andragogi adalah teknologi keterlibatan diri (ego) peserta didik. Artinya kunci keberhasilan daam proses pembelajaran peserta didik terletak pada keterlibatan diri mereka dalam proses pembelajaran (Sudjana, 2005: 63).

2. Teori Belajar Orang Dewasa dan Tokohnya
1. Carl Rogers
Menurut Biehler (1971: 509-513) dan jarvis (1983: 106-108) Carl Rogers adalah seorang ahli ilmu jiwa humanistik yang menganjurkan perluasan penggunaan teknik psikoterapi dalam bidang pembelajaran. Menurut pendapatnya, peserta belajar dan fasilitator hendaknya memiliki pemahaman yang mendalam mengenai diri mereka melalui kelompok yang lebih intensif. Pendekatan ini lebih dikenal dengan istilah latihan sensitivitas: kelompok, group, workshop intensif, hubungan masyarakat.
Menurut Rogers, latihan sensitivitas dimaksudkan untuk membantu peserta belajar berbagai rasa dalam penjajagan sikap dan hubungan interpersonal di antara mereka. Rogers menanamkan sistem tersebut sebagai pembelajaran yang berpusat pada peserta belajar. Pembelajaran yang berpusat pada peserta belajar pada hakekatnya merupakan versi terakhir dari metode penemuan (discovery method).
Rogers mengemukakan adanya tiga unsur yang penting dalam belajar berpengalaman (experimental learning), yaitu:
a. Peserta belajar hendaknya dihadapkan pada masalah nyata yang ingin ditemukan pemecahannya.
b. Apabila kesadaran akan masalah telah terbentuk, maka terbentuk pulalah sikap terhadap masalah tersebut.
c. Adanya sumber belajar, baik berupa manusia maupun berbentuk bahan tertulis atau tercetak.
Teori belajar berpengalaman dari Carl Rogers, Javis mengemukakan bahwa teori tersebut mengandung nilai keterlibatan personal, intelektual dan afektif yang tinggi, didasarkan atas prakarsa sendiri (self Initiated). Peranan fasilitator dalam belajar berpengalaman ialah sekedar membantu memudahkan peserta belajar menemukan kebutuhan belajar yang bermakna baginya.
Kegiatan pembelajaran yang dirancang secara sistematis, tahap demi tahap secara ketat, sebagaimana tujuan-tujuan pembelajaran yang telah dinyatakan secara eksplisit dan dapat diukur, kondisi belajar yang diatur dan ditentukan, serta pengalaman-pengalaman belajar yang dipilih untuk siswa, mungkin saja berguna bagi guru tetapi tidak berarti bagi siswa (Roger dalam Snelbecker, 1974). Hal tersebut tidak sejalan dengan teori humanistik. Menurut teori ini, agar belajar bermakna bagi siswa, diperlukan inisiatif dan keterlibatan penuh dari siswa sendiri. Maka siswa akan mengalami belajar eksperensial (experiential learning) (Asri Budiningsih, 2005: 77).

2. Robert M. Gagne
Gagne mengemukakan yang terpenting bagi pendidikan orang dewasa terutama yang berkaitan dengan kondisi belajar. Menurutnya ada delapan hierarki tipe belajar seperti diuraikan sebagai berikut:
a. Belajar Berisyarat; belajar berisyarat dapat pada tingkatan mana saja dari hierarki sebagai suatu bentuk: Classical Conditioning. Tipe belajar ini dapat terjadi pada anak-anak maupun orang dewasa dalam bentuk sikap dan prasangka.
b. Belajar Stimulus Respon; belajar stimulus respon adalah sama dengan Operant Conditioning, yang responnya berbentuk ganjaran. Dua tipe berikutnya adalah rangkaian motorik dan verbal, berbeda pada tingkatan yang sama dalam hierarki.
c. Rangkaian motorik tidak lain dari belajar keterampilan, sedangkan
d. Rangkaian verbal adalah belajar dengan cara menghafal (rote learning).
e. Diskriminasi Berganda; dalam belajar diskriminasi ganda, memasuki kawasan keterampilan intelektual berupa kemampuan membedakan antara beberapa jenis gejala yang serupa. Dengan tipe belajar ini, peserta belajar diharapkan memiliki kemampuan untuk menetapkan mana di antara tipe tersebut yang tepat untuk sesuatu situasi khusus.
f. Belajar Konsep; adalah kemampuan berpikir abstrak yang mulai dipelajari pada masa remaja (adolesence). Belajar konsep merupakan salah satu unsur yang membedakan antara pendidikan orang dewasa dibandingkan dengan pendidikan anak-anak dilihat dari tingkatan pemikiran tentang konsep.
g. Belajar Aturan; merupakan kemampuan merespon terhadap keseluruhan isyarat, merupakan tipe belajar yang penting dalam pendidikan orang dewasa. Belajar pemecahan masalah merupakan tingkat tertinggi dalam tipe belajar menurut hierarki Gagne.
h. Pemecahan Masalah; Tipe pemecahan masalah bertujuan untuk menemukan jawaban terhadap situasi problematik.
3. Paulo Freire
Paulo Freire adalah seorang pendidik di negara Brazilia yang gagasannya tentang pendidikan orang dewasa. Menurut Flaire, pendidikan dapat dirancang untuk percaya pada kemampuan diri pribadi (self affirmation) yang pada akhirnya menghasilkan kemerdekaan diri. Ia terkenal dengan gagasannya yang disebut dengan conscientization yang terdapat tiga prinsip:
- Tak seorang pun yang dapat mengajar siapapun juga,
- Tak seorang pun yang belajar sendiri,
- Orang-orang harus belajar bersama-sama, bertindak di dalam dan pada dunia mereka.
Gagasan ini memberikan kesempatan kepada orang dewasa untuk melakukan analisis kritis mengenali lingkungannya, untuk memperdalam persepsi diri mereka dalam hubungannya dengan lingkungannya dan untuk membina kepercayaan terhadap kemampuan sendiri dalam hal kreativitas kapablitasnya untuk melakukan tindakan. Fasilitator dan peserta belajar hendaknya bersama-sama bertanggung jawab terhadap berlangsungnya proses pengembangan fasilitator dan peserta belajar.

4. Jack Mezirow
Mezirow adalah Teacher College Universitas Columbia, beliau mengemukakan: “Belajar dalam kelompok pada umumnya merupakan alat yang paling efektif untuk menimbulkan perubahan dalam sikap dan perilaku individu”.
Mezirow berpendapat bahwa pendidikan sebagai suatu kekuatan pembebasan individu dari belenggu dominasi budaya penjajah, namun ia melihat kemerdekaan dari perspektif yang lebih bersifat psikologis, dan kegiatan belajar sebagai suatu metode yang dapat digunakan untuk mengubah realita masyarakat.
Keinginan belajar terjadi sebagai akibat dari refleksi pengalaman, dan ia menyatakan adanya perbedaan tingkatan refleksi, menetapkan perbedaan refleksi dan menetapkan tujuh tingkatan refleksi yang mungkin terjadi dalam masa kedewasaan, yaitu:

♦ Refleksivitas: kesadaran akan persepsi khusus, arti dan perilaku
♦ Refleksivitas Afektif: kesadaran akan bagaimana individu merasa tentang apa yang dirasakan, dipikirkan atau dilakukan
♦ Refleksivitas Diskriminasi: menilai kemanjuran (efficacy) persepsi, dll.
♦ Refleksivitas Pertimbangan: membuat dan menjadikan sadar akan nilai pertimbangan yang dikemukakan.
♦ Refleksivitas Konseptual: menilai kememadaian konsep yang digunakan untuk pertimbangan.
♦ Refleksivitas Psikis: pengenalan kebiasaan membuat penilaian perasaan
Mengenai dasar informasi terbatas.
♦ Refleksivitas Teoritis: kesadaran akan mengapa satu himpunan perspektif lebih atau kurang memadai untuk menjelaskan pengalaman personal.

5. Malcolm Knowles
Knowles terkenal dengan teori andragoginya, oleh karena itu dianggap Bapak Teori Andragogi meskipun bukan dia yang pertama kali menggunakan istilah tersebut. Andragogi berasal dari akar kata “aner” yang artinya orang (man) untuk membedakannya dengan “paed” yang artinya anak. Andragogi adalah seni dan ilmu yang digunakan untuk membantu orang dewasa belajar.
Knowles menegaskan adanya perbedaan antara belajar bagi orang dewasa dengan belajar bagi anak-anak dilihat dari segi perkembangan kognitif mereka. Menurut Knowles, ada empat asumsi utama yang membedakan antara andragogi dan pedagogi, yaitu:
♦ Perbedaan dalam konsep diri, orang dewasa membutuhkan kebebesan yang lebih bersifat pengarahan diri.
♦ Perbedaan pengalaman, orang dewasa mengumpulkan pengalaman
♦ Kesiapan untuk belajar, orang dewasa ingin mempelajari bidang permasalahan yang kini mereka hadapi dan anggap relevan
♦ Perbedaan dalam orientasi ke arah kegiatan belajar, orang dewasa orientasinya berpusat pada masalah dan kurang kemungkinannya berpusat pada subjek.
Knowles membedakan orientasi belajar antara anak-anak dengan orang dewasa, dilihat dari segi perspektif waktu yang selanjutnya mengakibatkan terjadinya perbedaan manfaat yang mereka harapkan dari belajar.
Anak-anak berkecenderungan belajar untuk memiliki kemampuan yang kelak dibutuhkan untuk melanjutkan pelajaran ke sekolah lanjutan/ perguruan tinggi, yang memungkinkan mereka memasuki alam kehidupan yang bahagia dan produktif dalam masa kedewasaan.
Orang dewasa cenderung memilih kegiatan belajar yang dapat segera diaplikasikan, baik pengetahuan maupun keterampilan yang dipelajari. Bagi orang dewasa, pendidikan orang dewasa pada hakekatnya adalah proses peningkatan kemampuan untuk menanggulangi masalah kehidupan yang dialami sekarang. (Mappa, 1994: 114)

C. Aplikasi Teori Andragogi dalam Kegiatan Belajar dan Pembelajaran
Bagi tenaga kependidikan luar sekolah, teori belajar orang dewasa tidak hanya diketahui, tetapi harus dapat diaplikasikan dalam setiap kegiatan belajar dan membelajarkan agar proses atau interaksi belajar yang dikelolanya dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Berikut akan dikemukakan karakteristik dari setiap kegiatan belajar secara teori belajar orang dewasa yang dapat diaplikasikan pada setiap tahap kegiatan belajar.
Kegiatan belajar dan membelajarkan pada garis besarnya dapat dibedakan atas tahap-tahap:

1. Perumusan Tujuan Program
Tujuan program menyatakan domain tingkah laku serta tingkatan tingkah laku yang ingin dicapai sebagai hasil belajar. Selain dari itu warga belajar dapat memiliki kesiapan mental dalam mengikuti program kegiatan belajar yang akan dilaksanakan. Gagasan ini merupakan aplikasi dari hukum kesiapan mental dari Thorndike.

2. Pengembagan Alat Evaluasi dan Evaluasi Hasil Belajar
Teori belajar orang dewasa yang erat hubungannya dengan tahap ini antara lain:
a. Pengembangan Kemamuan Pikir; merupakan teknik pengembangan kemampuan berpikir.
b. Hukum Efek; kegiatan belajar yang memberikan efek hasil belajar yang menyenangkan seperti nilai yang baik, cenderung untuk diulangi dan ditingkatkan.
c. Penguatan; pujian ataupun teguran/peringatan diberikan sesegera mungkin dan secara konsisten. Warga belajar perlu mengetahui hasil tesnya agar ia terdorong untuk terdorong lagi, dapat menilai usaha belajarnya untuk menghadapi tes berikutnya.
d. Keputusan Penyajian; hasil evaluasi dijadikan dasar untuk mengambil keputusan apakah pelajaran dapat dilanjutkan atau perlu diselenggarakan penjelasan remedial atau mengulang kembali bagian-bagian yang dianggap sukar.
e. Hasil Evaluasi; merupakan balikan bagi fasilitator tentang efektivitas/ kemampuan penyajiannya. Juga merupakan balikan bagi warga belajar untuk mengetahui penguasaan terhadap bahan pelajaran.




3. Analisis Tugas Belajar dan Identifikasi Kemampuan Warga Belajar
Kemampuan yang ingin dicapai senagai tujuan pembelajaran, diurai (dianalisis) atas unsur-unsur yang telah diidentifikasi tersebut diseleksi sehingga hanya unsur-unsur yang belum dikuasai sajalah yang dipilih sebagai bahan pelajaran. Pada tahap ini juga diidentikkan karakteristik individual warga belajar seperti: kecerdasa/bakat, kebiasaan belajar, motivasi belajar, kemampuan awal dan kebutuhan warga belajar, terutama yang menyangkut kesulitan belajarnya.
Teori belajar yang relevan dengan kegiatan analisis tugas, antara lain ialah:
a. Teori Gestalt, meliputi:
• Hukum Pragmanz (penuh arti) yaitu pengelompokan objek sesuatu bahan pelajaran berdasaran kriteria atau kategori tertentu seperti: warna, bentuk, ukuran.
• Hukum kesamaan atau keteraturan: tugas-tugas yang unsur-unsurnya mempunyai kesamaan dan teratur, lebih mudah dipahami daripada yang berbeda dan tidak teratur.
b. Teori Medan
Belajar memecahkan masalah adalah pengembangan struktur kognitif.
4. Penyusunan Strategi Belajar-Membelajarkan
Strategi belajar-membelajarkan pada hakikatnya adalah rencana kegiatan belajar dan membelajarkan yang dipilih oleh fasilitator untuk dilaksanakan, baik oleh warga belajar maupun oleh sumber belajar dalam rangka usaha pencapaian tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
Teori belajar orang dewasa yang erat hubungannya dengan tahap ini antara lain ialah:
a. Teori Bruner tentang cara mengorganisasikan batang tubuh ilmu yang dipelajari, urut-urutan pokok bahasan yang disajikan, teknik-teknik penyajian enaktif, ekonik dan simbolik.
b. Teori penyajian bahan verbal yang bermakna menurut Ausubel.
c. Penataan Situasi belajar yang menyangkut pengelolaan belajar dan kondisi belajar menurut Gagne.
d. Metode belajar pemecahan masalah dengan teknik: ramu pendapat, metode buku catatan kolektif dan metode papan bulletin kolektif.
e. Metode belajar/penyajian menemukan. Metode ini memudahkan transfer dan retensi, mempertinggi kemampuan memecahkan masalah serta mengandung morivasi intrinsik.
f. Perbedaan individu dalam hal kecepatan belajar warga belajar.
g. Pengaturan urutan-urutan penyajian bahan pelajaran menurut tingkat kesulitannya dari yang sederhana ke yang lebih sulit.

5. Pelaksanaan Kegiatan Belajar dan Membelajarkan
Teori belajar orang dewasa yang erat hubungannya dengan tahapan ini antara lain ialah:
a. Hukum kesiapan. Menyiapkan mental warga belajar untuk mengikuti pelajaran baru dengan memberikan penjelasan singkat mengenai pengetahuan prasyarat untuk mengikuti pelajaran baru/hal-hal yang telah dipelajari dan berhubungan erat dengan pelajaran baru.
b. Penguatan dan Motivasi Belajar. Menjelaskan kegunaan/nilai praktis dari pelajaran baru dalam kehidupan dan penghidupan.
c. Proses Pensyaratan (conditioning). Memperlihatkan model hasil belajar terminal untuk memudahkan warga belajar mempelajari pengetahuan dan keterampilan baru.
d. Hukum Unsur-Unsur yang Identik. Menstransfer pengalaman pemecahan masalah lainnya yang mempunyai persamaan. Menerapkan pengetahuan dan keterampilan baru dalam berbagai situasi, kondisi dan posisi.
e. Metode Menemukan. Memberikan kesempatan kepada warga belajar untuk melakukan sendiri keterampilan yang harus mereka pelajari, jadi bukan fasilitator sendiri yang melakukan.
f. Cara Menarik Perhatian. Mengaitkan kegiatan belajar dan membelajarkan dengan kebutuhan warga belajar, mengolah bahan pelajaran sebagai bahan perlombaan antar individu, kelompok, dan baris.
g. Karya Wisata. Pengalaman praktik lapangan ataupun di laboratorium dan bengkel, permainan peran, permainan atau perlombaan, merupakan pengalaman yang berkesan bagi warga belajar dan memungkinkan mereka lebih mudah mengingat konsep-konsep pengertian kunci dan sebagainya.

6. Pemantauan Hasil Belajar
Teori belajar orang dewasa yang erat hbubungannya dengan tahapan ini antara lain:
a. Hukum Latihan. Makin sering sesuatu pelajaran diulang makin dikuasai pelajaran itu.
b. Belajar lanjut (overlearning). Belajar lanjut 50% (150%) lebih lama daya tahannya dalam ingatan.
c. Revieu. Belajar dengan teknik revieu berkala lebih efektif daripada belajar terus-menerus tanpa revieu. (Mappa, 1994: 154).

B. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain:
1. Andragogi adalah suatu model proses pembelajaran peserta didik yang terdiri atas orang dewasa. Andragogi disebut juga sebagai teknologi pelibatan orang dewasa dalam pembelajaran.
2. Andragogi merupakan pengelompokan teori belajar berdasarkan usia dan kemampuan/persepsi berpikir untuk mengikuti proses belajar dalam pembelajaran.
3. Andragogi adalah ilmu dan seni untuk membantu orang dewasa belajar.
4. Orang dewasa ialah mereka yang telah melewati masa remaja dan memiliki kematangan fisiologik dan psikologi untuk melakukan suatu kegiatan.
5. Metode pembelajaran orang dewasa terdiri atas metode individual, kelompok, massal.
6. Motivasi belajar orang dewasa ada dua:
a. Motivasi internal, yang timbul dari dalam diri orang dewasa,
b. Motivasi eksternal, yang berupa rangsangan yang datang dari luar dirinya.
7. Belajar dapat diartikan perubahan tingkah laku yang dialami oleh individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Belajar tidak selalu mensyaratkan kehadiran pendidik (fasilitator) atau gurunya.
8. Pembelajaran merupakan upaya sistematis untuk membantu orang dewasa atau mengendalikan sikap dan perilakunya yang bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannya.
9. Teori belajar orang dewasa tidak hanya diketahui, tetapi harus dapat diaplikasikan dalam setiap kegiatan belajar dan membelajarkan agar proses/interaksi belajar yang dikelolanya dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Berikut secara berturut-turut akan dikemukakan karakteristik dari setiap kegiatan belajar secara teori belajar orang dewasa yang dapat diaplikasikan pada setiap tahap kegiatan belajar.


Referensi

Beberapa karya di tanah air yang memperkenalkan konsep andrgagogi dalam pendidikan adalah oleh Lunandi (1984); Tamat (1985); Arif (1986), dan baru-baru ini oleh Suprijanto (2007).
Budiningsih, Asih. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta
Hendayat. S. 2005. Pendidikan dan Pembelajaran (teori, permasalahan dan praktik). Universitas Muhammadiyah Malang).

Knowles, Malcolm. 1979. The Adult Learning (thirt Edition), Houston, Paris, London, Tokyo: Gulf Publishing Company

Mappa, Syamsu. 1994. Teori belajar Orang Dewasa. Jakarta: Departemen P dan K

Sudjana, H.D. 2005. Strategi Pembelajaran. Bandung: Falah Production


Biodata:


A. Identitas Pribadi
1. Nama : Halim K. Malik S.Pd
2. Tempat Tanggal Lahir : Gorontalo, 23 Desember 1971
3. Asal Instansi : Universitas Negeri Gorontalo Jurusan Pendidikan Non Formal Fakultas Ilmu Pendidikan

4. Alamat : Jl. Jeruk Blok A. 13 Perum Civika UNG
Kecamatan Kota Tengah Koa Gorontalo
5. No. HP : 0852 4011 0443

B. Riwayat Pendidikan.
1. SD Tahun Tahun 1985
2. SMP Tahun Tahun 1988
3. SPGN 2 Limboto Tahun 1991
4. D2 PGSD Tahun 1999
5. S1 PLS UNG Tahun 2004
6. Sementara S2 Jurusan Pendidikan Non Formal di Universitas Negeri Yogyakarta

C. Pelatihan
1. Pelatihan Pembuatan Bahan Ajar 2005
2. Seminar Nasional PLS tahun 2005
3. Seminar Internasional Tahun 2006
4. Seminar Nasional Sertifikasi Guru dan Dosen Tahun 2007
5. Seminar Nasional Manajemen Dampak Perubahan Iklim Global Tahun 2007
6. Pelatihan ISPI (Ikatan Seluruh Pengajar dan Pendidik Pendidikan Non Formal) Tahun 2007

7. dll